Tulisan ini saya persembahkan kepada mereka yang sedang berjuang menghadapi Covid-19 untuk saling berbagi pengalaman serta ikhtiar bagi mereka yang masih abai akan himbauan pemerintah bahkan masih tidak percaya bahwa Virus Corona benar ada.
Fase Kejiwaan Penyintas Covid-19
Ketika kita terkena Covid-19 maka kita menghadapi beberapa fase kejiwaan. Fase pertama kita akan terdiskriminasi. Pada saat itu yang ada adalah rasa malu jangankan teman karib, keluarga bahkan dengan anak dan istri pun kita harus terpisah. Dari tautan Instagram yang dikirim istri saya mempelajari fase-fase itu dari pakar kecerdasan spiritual Ari Ginanjar Agustian serta Level Emosi (Power of Force) David Hawkin, saya mempelajari teknik penguasaan mental spiritual untuk penyembuhan.
Melansir Hawkins dan Ari, fase pertama penderita Covid berada pada level energi 20. Level yang paling rendah, paling berbahaya. Saat harga diri mulai hilang, itulah masa terpuruk. Masa hukuman mati yang zaman dulu diberikan kepada orang yang terusir dari kampung halamannya. Ini sangat berbahaya sekali. Kedua, level 30, yaitu ketika kita sudah mulai menyalahkan diri sendiri dan itu membuat penyakit kian bertambah.
Kemudian level 50 dimana mulai tumbuh rasa apatis, merasa tidak ada harapan, merasa semua dalam derita kita berada pada level kesedihan. Level ini tidak kurang bahayanya dari level sebelumnya. Level 75 saya berada pada zona penyesalan. Mengapa harus pergi kesana, mengapa harus makan disana, mengapa harus berkumpul dengan orang-orang disana.
Seharusnya Covid ini tidak kena di saya. Demikian pertanyaan-pertanyaan penyeselan datang dari pikiran. Ini adalah level duka. Dimana saya melihat segala sesuatu dari kaca mata duka. Kemudian lebih parah lagi jika saya masuk ke level kesedihan. Saat otak sudah diframing dengan segala macam kesedihan. Ini adalah level pemakaman dalam kehidupan saya. Lalu satu level di atasnya, yaitu ketakutan. Dimana saya merasa khawatir, tidak ada lagi harapan tidak ada lagi pencerahan.
Setop! Saya merasakan sedemikian terpuruk. Saya berpikir saatnya saya bangkit bertransformasi ke zona berbeda. Saya berusaha menyebarang ke zona energi positif. Di 200 atau 250 dimana bisa merasa netral. Zona saya menerima keadaan bahwa sedang berhadapan dengan Covid-19. Saya harus mau bersahabat dengan Covid-19 bahkan mengalahkannya. Saya harus berada pada posisi High Energy. Saya berusaha menetralisir diri. Setelah mendapatkan netralitas, diatasnya ada satu tingkat lebih tinggi yaitu kerelaan.
Bukan hanya ikhlas tetapi juga berusaha mengobati diri kita sendiri. Punya semangat. Lalu naikan lagi level ke level 350 dimana saya mulai bisa menerima apa pun yang terjadi. Saya pikir jika kita mampu naikkan lagi otak pada level 400 dimana secara logik otak akan bekerja mengalahkan ketakutan dan kekhawatiran maka saya berhak memberikan hadiah nobel pada diri saya sendiri.
Saya berusaha mencapai level 500 menuju energi kebaikan, energi spiritual, yaitu rasa ikhlas, ketenangan, ketentraman, merasakan kedamaian berzikir, tafakur, beristiqfar dan puncaknya kita berada pada level 700 enlight terang benderang meski tubuh masih dikuasai Covid-19.
Bagaimana mencapainya? Yakni fokus pada suasana hati ikhlas, tenang, hindari suasana low energy, keluarga harus mendukung jangan keluar kata-kata yang menyebabkan kita terpuruk kembali, jangan membaca sosial media, menonton TV dengan konten-konten negatif. Tarik napas pelan-pelan, fokus pada alam tenang, katakan pada diri, saya sehat, tegakkan bahu, katakan saya kuat, kepalkan lagi tangan katakan terimakasih Ya Allah, Saya Sudah Sehat.
Hari ke 12 masa isolasi kondisi saya semakin membaik. Sesekali saya membuka Whats App kantor untuk mengecek keadaan. Yang ringan-ringan saja memantau keseharian tim yang setiap hari tetap setia menyelesaikan tugas-tugas mereka meski saya tidak berada di tempat. Jika ada pesan yang kurang baik dan mengganggu proses penyembuhan saya langsung close dan matikan saja. Saya masih ingin focus pada masa penyembuhan.
Hari-hari itu lebih menyenangkan, badan mulai terasa ringan, pikiran tenang, deman dan pusing sudah lama berlalu. Nafsu makan saya pun sudah kembali seperti sedia kala. Kepada Adik yang memang setiap hari bekerja di rumah sakit itu saya minta dibawakan masakan rumahan. Ikan asin, tempe goreng hingga sambal buah saya lahap habis. Pagi itu saya telpon ibu mengabarkan keadaan. Dari balik telpon saya merasakan kebahagiannya mendengar keadaan yang makin membaik. Demikian dengan istri dan anak-anak yang turut mengungsi ke Palemabang hampir dua pekan ini. Sekali-sekali istri mengirim video lucu anak perempuan kami yang baru berusia 2 tahun dan kakaknya yang berusia 7 tahun. Kegirangan mereka menambah semangat saya untuk sembuh.
Bangkit, Pastikan Jiwa mu, Pikiran mu masih milik mu!
Para medis mengkategorikan tiga jenis orang yang menderita Covid-19, yaitu Orang Tanpa Gejala (OTG) atau tanpa keluhan berarti, menengah dengan gejala demam, sakit kepala, badan nyeri dan ketiga berat dengan gangguan pernapasan (pneumonia) sempurna sakitnya. Saya termasuk yang menengah. Apa pun gejalanya, intinya jika kita mengalami fase ke dua dan ketiga, kita tidak lagi memiliki tubuh kita. Tubuh kita sepenuhnya diambil alih oleh mister Covid-19.
Lalu apa yang kita miliki lagi? Bukan tubuh tapi jiwa kita. Hanya itu yang masih bisa kita kendalikan. Jika gagal mengendalikan jiwa dan pikiran maka kita akan selesai atau bahkan berakibat lebih buruk lagi.
Data resmi pemerintah di Bulan Juni menyebut jumlah pasien yang meninggal setelah terpapar Covid-19 terus bertambah dibanding hari-hari sebelumnya. Data pemerintah menunjukkan terdapat 335 orang meninggal akibat Covid-19 di media Juni. Berdasarkan data tersebut saat ini jumlah total angka kematian akibat Covid-19 mencapai 55.291 orang.
Berdasarkan pengalaman saya mempraktikan teknik yang diajarkan pakar Emotional Spiritual Question (Kecerdasasan Spiritual) Ari Ginanjar Agustian, ada 5 (lima) langkah mental dan spiritual diluar upaya-upaya medis dan saran dokter.
Pertama, pastikan otak kita berada pada Alfa Mode, yaitu gelombong 7 sampai dengan 14 Hz. Gelombang damai dan tenang. Dua, hindari gelombang 13 sampai dengan 32 Hz yang membuat kita harus berpikir keras. Kita tidak perlu menjadikan diri kita analis penyakit dengan browsing tentang Covid-19 yang sedang kita derita. Dokter ahli saja memerlukan puluhan tahun untuk mempelajari suatu penyakit.
Sementara pandemi Covid-19 ini jenis penyakit baru yang ditemukan di dunia. Tidak akan ditemukan oleh kita yang mengandalan paket data 3 atau 4 giga saja. Yang timbul justru rasa panik, khawatir, takut artinya kita sudah memaksakan otak kita pada gelombang gamma 32-100 Hz.
Dalam keadaan seperti maka mulai hindarilah media sosial Whats App dan lain sebagainya. Silahkan masuk ke dalam diri kita, tinggalkan dulu dunia sehari-hari kita. Beri pemahaman kepada orang sekitar bahwa kita sedang butuh waktu untuk menyembuhkan diri. Pekerjaan-pekerjaan di kantor hanya akan menambah beban dan memperlambat proses penyembuhan. Dukungan orang sekitar sangat dibutuhkan untuk kesembuhan penyintas Covid-19 dari sisi kejiwaan.
Bukan hanya berita-berita yang negatif, bahkan tayangan TV pun harus dipilih yang menyehatkan yang berada pada dimensi Alfa seperti kisah hewan, binatang, kisah perjalanan. Pastikan gelombang otak kita seperti air mengalir yang sejuk, dingin membasuh jiwa dan lebih jauh usahakan gelombang otak berada pada dimensi Teta lebih dalam dalam gelombang Alfa 4 hingga 3 Hz. Itu disebut Ari dengan gelombang otak Deep Meditioan.
Saya mulai berzikir perlahan, tafakur menyesali diri, mengingat kekhilafan-khilafan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Waktu isolasi yang panjang adalah kesempatan untuk mempertajam sisi spiritual melalui kajian-kajian keagamaan online yang selama ini diabaikan. Mulai dari fikih wudhu yang benar, sholat yang khusuk hingga hati yang ihklas menjalani kehidupan selaku manusia.
Doa Al Maksurat yang di kirim Asisten I Setda OKI, H. Antonius Leonardo saya baca pagi dan petang agar makin tenang. Terbesit dalam benak saya mau Allah coba dengan ujian sehebat apa lagi yang bisa membuat pintu hati terbuka. Fabiaya Ala Irobbikuma Tukaziban demikian merdu penggalan surat Ar Rahman yang di bacakan Ustadz Hanan Attaki yang saya dengar agar bisa tidur lelap.
Berwudhu, munajat dan sholat adalah momen terindah untuk introspeksi diri. Mungkin selama ini ada hal-hal yang salah dalam hidup, rasa syukur yang kurang, sikap pongah dan ujub selaku manusia. Tidak ada pekerjaan dan persoalan yang tidak bisa kita selesaikan. Namun ketika mahluk Allah yang kecil, kasat mata bernama Covid-19 itu menggerogoti tubuh semua hilang, semua percuma dan sia-sia kita hanyalah mahluk lemah tanpa daya upaya tanpa pertolongan-NYA.
Kesembuhan Spiritual
Berjuang jadi penyintas Covid bukan soal fisik dan urusan medis saja, lebih jauh yaitu adalah perperangan jiwa, mental dan spiritual. Dengan ketenangan dan mendekatkan diri, penyintas Covid bisa menerima setiap kondisi dengan penuh keyakinan melalui komunikasi vertical melalui keyakinannya. Jika kita bisa mengambil hikmah selaku penyintas Covid-19 maka itulah kesembuhan spiritual yang sebenarnya.
Pasien yang mengalami perawatan dalam penanganan inveksi Covid-19 memerlukan semangat dan daya juang untuk sembuh. Tidak hanya dapat dilakukan melalui perawatan fisik saja. Pendekatan spirutualitas sesuai agama yang dianut sangat membantu proses penyembuhan.
Metode yang mengintegrasi dimensi psikologis dan spiritualitas untuk penyembuhan (self Healing) memberikan efek ketenangan sehingga bisa menenangkan diri dari gejolak jiwa dan ketakutan. Kesendirian saat masa isolasi adalah dua sisi mata pisau yang berbeda. Jika salah menggunakannya maka akan jadi pisau yang membunuh penyitas Covid itu sendiri. Namun jika berhasil, dia akan menjadi senjata ampuh untuk mengalahkan Covid-19.
Lulus dan menjadi alumni Covid-19 bukanlah sebuah kebanggaan, bukan juga kehinaan. Mengambil pelajaran dari setiap peristiwa paling utama. Bisa jadi Tuhan ingin menyentil kita agar kembali ke pada NYA melalui mahluk tidak kasat mata bernama Covid-19. (sumeks.co)